Dengan menyadari diri, lahir dan batin, dapatkah proses mengasingkan diri yang bertentangan ini, benar-benar dipecahkan? Ini memang sangat rumit; karena sifat pikiran itu sendiri ialah memecah-belah, membuat belahan yang berupa, sesuatu yang mengamati dan sesuatu yang diamati, yang mengalami dan yang dialami, yang menanggapi dan yang ditanggapi.
Antara belahan itu terdapat ruang celah antar yang mengamati dan yang diamati. Pembelahan itu ditimbulkan oleh pikiran. Apabila kita menyadari akan semua hal ini, lantas apakah yang hendak kita lakukan, dan bagaimana kita melakukannya? Memang pikiran harus dikerjakan menurut akal yang sehat, bijaksana dan sempurna, namun tidak menimbulkan perpecahan. Bila ada cinta murni, di situ tidak terdapat pikiran yang memecah-belah, memisahkan dan membedakan. Maka bagaimanakah kita harus hidup dalam dunia yang sama sekali terpecah-belah, menjunjung tinggi perbedaan dan pemisahan? Bagaimanakah kita harus menghayati hidup yang selaras (harmoni) lahir dan batin?
Pada saat kita mempunyai suatu rumus (formula) atau sistem, maka rumus atau sistem itu sendiri memecah-belah, sebagai sistem anda dan sistem saya. Jadi pertanyaan “bagaimana” tidak dapat diterapkan di sini. Pada saat saya menanyakan pada diri sendiri “bagaimanakah saya harus hidup dengan penuh cinta kasih, dan bagaimanakah saya harus berlaku tanpa menimbulkan perpecahan?” Kata-kata “bagaimana” itu mengandung suatu metode atau sistem, yang berarti jika kita melakukan suatu perbuatan, kita akan mencapai suatu hasil tertentu. Dalam hal ini keadaan hidup harmonis dan tidak mendua. Maka kata-kata “bagaimana” itu melahirkan perpecahan, yaitu di satu pihak terdapat gagasan harmoni, suatu formula (rumus) atau ideologi yang kita anggap keselarasan hidup sebagai tujuan terakhir.
Di pihak lain terdapat keadaan kita yang sebenarnya, yang melalui jalan“bagaimana” sebagai sarana untuk mencapai cita-cita kita. Dengan demikian kata-kata “bagaimana” itu, serta-merta melahirkan perpecahan antara “apa adanya” dan “apa yang dikehendaki”. Jikalau kita dapat membuang pertanyaan“bagaimana”, yang mengandung metode dan sistem itu, maka gagasan atau cita-cita dari “apa yang dikehendaki” lenyap lama sekali. Yang tinggal hanyalah“apa adanya”. “Apa adanya” itulah fakta cara hidup kita yang memecah-belah dan membeda-bedakan. Inilah keadaan yang sesungguh-sungguhnya.Mungkinkah, fakta ini diubah menjadi sesuatu yang tidak dualistik? Dapatkah kita melihat saja kebenaran hidup kita yang dualistik, memisahkan dan mengasingkan diri? Sekalipun kita menyatakan cinta kepada istri kita, toh kita memisahkan diri, karena ambisi, keserakahan dan iri hati kita, yang membangkitkan permusuhan dan kebencian. Demikianlah faktanya.
Maka dapatkah jiwa dan batin kita, yakni si “aku”, menyadari semua hal ini setara total? Inilah sungguh-sungguh meditasi, kalau saya boleh memakai kata-kata ini agak ragu-ragu, yaitu batin kita menyadari dirinya sendiri tanpa melahirkan subyek yang melihat ke dalam. Hal mana hanya mungkin terjadi, apabila tak terdapat ideologi dan tak terdapat keinginan mencapai hasil, yang berarti tidak ada jangka waktu. Jangka waktu dalam perkembangan (evolusi) timbul bila terdapat dualitas dari “apa adanya” dan “apa yang dikehendaki “.
Dan semua usaha dengan susah payah untuk mencapai keadaan yang dikehendaki adalah pemborosan tenaga (energi) yang besar. Dapatkah kita melihat dan menyadari saja, bahwa pikiran kita juga tidak bisa memahami dan mengatasinya? Oleh karena pikiran itu dapat mengatasi keadaan yang ada, dengan merencanakan gagasan bagaimana ia seharusnya, dan mengharapkan tercapainya gagasan itu. Akan tetapi untuk menaklukkan “apa adanya”, membutuhkan jangka waktu, setindak demi setindak, lambat laun, setiap hari. Jelaslah jalan pikiran itu sendiri, menimbulkan perpecahan dan pemisahan. Saya rasa, apa yang dapat dilakukan oleh pikiran, ialah mengawasi saja dan menyadari sepenuhnya, tanpa ingin menaklukkannya. Tiada lain kita harus menyadari saja proses dualistik ini yang berlangsung terus-menerus. Misalnya timbul kebencian, marah atau ambisi, sadarilah saja jangan coba mengubahnya. Begitu lekas kita mencoba untuk mengubahnya.
Begitu lekas kita mencoba untuk mengubahnya, muncullah si “aku” yang ingin mengubah. Tetapi bila kita dapat mengamati kebencian atau ketakutan, tanpa ada yang mengamati, maka seluruh rasa perpecahan, jangka waktu dan usaha mencapai hasil, lenyap sama sekali. Kemudian kita bisa hidup dalam alam rohani dan jasmani, tanpa perpecahan yang bertentangan.